Badan Gizi Nasional (BGN) telah mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan sementara 56 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program MBG setelah muncul laporan kasus keracunan massal yang menimpa penerima manfaat. Penutupan ini menyasar dapur-dapur di berbagai wilayah, termasuk Bandung Barat (Cipongkor Cijambu, Cipongkor Neglasari, Cihampelas Mekarmukti) dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah.

Sumber dari Merahputih.com
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menegaskan bahwa keselamatan penerima manfaat, terlebih anak-anak, menjadi prioritas utama. Ia menyebut bahwa penonaktifan ini bukan bentuk “hukuman instan”, melainkan bagian dari evaluasi mendalam untuk mencari akar permasalahan dan memperbaiki sistem. “Setiap SPPG wajib mematuhi standar keamanan pangan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Meski demikian, hingga saat ini belum ada pernyataan publik yang membeberkan hasil laboratorium dari BPOM atau audit independen yang mengungkap penyebab pasti keracunan. Puluhan dapur MBG yang ditutup tengah menunggu pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa pihak justru menyebutkan bahwa langkah penutupan tanpa transparansi proses investigasi bisa membuat publik mempertanyakan kredibilitas program MBG itu sendiri.

Sumber dari Radar Buleleng
Salah satu masalah yang ikut mencuat adalah besaran anggaran per porsi makanan. Di Makassar misalnya, dapur MBG sempat berhenti operasi karena anggaran per porsi sebesar Rp 6.500 hingga Rp 10.000 dinilai tidak realistis untuk menghasilkan makanan bergizi aman. Para pengamat menyebut bahwa tekanan biaya per porsi yang terlalu rendah bisa memicu dan mempengaruhi kualitas mutu, mulai dari pemilihan bahan, proses penyimpanan, hingga kebersihan dapur.
Data yang tersebar melalui media lokal menyebut bahwa ratusan hingga ribuan anak dilaporkan mengalami gangguan kesehatan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG yang bermasalah. Namun, angka pasti belum diverifikasi oleh instansi pusat atau lembaga independen. Ini memperlihatkan bahwa insiden keracunan ini bukan sekadar kegagalan pada sistem operasional saja, tapi juga terlihat adanya potensi masalah sistemik dalam program bantuan pangan yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintahan pusat, daerah, mitra penyelenggara, hingga pengawasan kesehatan.
Dengan ditutupnya 56 dapur MBG, muncul pertanyaan penting, yakni apakah ini hanya tindakan reaktif untuk menanggulangi gejala atau bisa menjadi titik balik reformasi menyeluruh terhadap tata kelola program pangan publik? Pemerintah dan BGN sekarang harus membuka data audit, memberi sanksi kepada pihak yang lalai, dan menjamin bahwa ketika MBG kembali aktif, kualitas makanan dan keamanan pangan menjadi utama.
Akankah program ini kembali pulih dengan perbaikan nyata atau justru menggusur kepercayaan masyarakat terhadap program pangan publik?
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani