“Namaku Ken Dedes, gadis kampung di timur gunung Kawi. Panawijen nama desaku.” – dalam lirik lagu “Ken Dedes”

Teater Pagupon merupakan salah satu kelompok teater kampus yang didirikan oleh Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) Universitas Indonesia atas dasar kebutuhan mahasiswanya untuk menampung ekspresi kesenian, khususnya di bidang teater. Nama Pagupon berasal dari bahasa Jawa yang artinya ‘rumah burung dara’. Seiring perkembangannya, rumah burung dara pun tidak hanya dihuni oleh mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UI, tetapi siapa pun dapat bergabung;  mahasiswa dari jurusan lain, fakultas lain, bahkan universitas lain. Sejak didirikan pada Desember 1984 di Fakultas Sastra UI Rawamangun, Teater Pagupon telah menampilkan banyak pertunjukan di berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri, tentu dengan naskah yang beragam.

Pada produksi ke-100 ini, Teater Pagupon membawakan naskah berjudul “Dedes” yang ditulis dan disutradarai oleh Catur Ari Wibowo (Ketjak). Ketjak sudah bergabung dengan Teater Pagupon sejak 1990. Diawali dengan menjadi pemain, penata panggung dan properti, desain grafis, penata musik, penata busana, penata rias, manajer panggung, pemimpin produksi, sampai akhirnya pada tahun 2000 memutuskan untuk menjadi sutradara. Uniknya, semua pementasan hasil garapannya mengandalkan kekuatan musik. Tidak heran, apabila dari garapannya lahir dua grup musik indie, yaitu Bungabel dan Payung Teduh. Kedua grup tersebut membawakan lagu dari Teater Pagupon, khususnya lagu dengan lirik yang ditulis oleh Ketjak.

Dengan mengangkat latar waktu dan budaya Jawa pada akhir abad ke-12, pementasan “Dedes” berisi perpaduan antara seni drama, tari, dan musik. Lakon ini merupakan bentuk tafsiran bebas atas cerita mengenai Ken Dedes – cikal bakal raja-raja Singasari dan Majapahit. Penulis naskah yang sekaligus merupakan sutradara mengadaptasi secara bebas dari cerita karangan S. H. Mintardja yang berjudul “Pelangi di Langit Singasari”. Membahas mengenai isi lakon “Dedes”, berarti membahas mengenai jantung pementasan ini, meski di dalamnya tidak melulu tentang Dedes. Mengutip perkataan sutradara, Ketjak, “Meski naskah ini berjudul Dedes, ini tidak hanya tentang Dedes, melainkan tentang banyak hal”. Sederhananya, “Dedes” adalah bentuk pengembangan – yang sangat bebas dari karya S. H. Mintardja tersebut.

“Dedes” mengisahkan perjuangan seorang wanita yang bernama Dedes dalam menentukan jalan hidup untuk dirinya sendiri. Secara kejam Dedes diasingkan dari lingkungannya dan dipaksa memilih pria yang akan menjadi pasangan hidupnya. Ada pihak yang ingin mendapatkan Dedes dengan cara apapun; termasuk dengan kekerasan. Demi keselamatan keluarga, teman-teman, serta lingkungannya, Dedes terpaksa harus bertindak lebih tegas. Meskipun harus mengorbankan nasibnya sendiri.

Pementasan “Dedes” ini tidak hanya sebagai bentuk perayaan genapnya pencapaian produksi Teater Pagupon yang ke-100, melainkan juga sebagai bentuk kembalinya Payung Teduh ke dalam ‘rumah’ –tempat kelahiran Payung Teduh. Mereka kembali berteater, mengiringi lakon pementasan – seperti saat awal mula mereka berkarya. Pementasan ini juga menampilkan Payung Teduh dengan formasi baru –setelah keluarnya dua personel yang juga pendiri grup musik ini. Tidak hanya Payung Teduh, ada pula Reda Gaudiamo yang melengkapi komponen pemusik dan penyanyi dalam pementasan ini.