Pasti boomer hingga Gen Z sudah tidak asing dengan keberadaan TikTok sebagai platform media yang paling booming hingga sekarang sejak kemunculannya pertama kali pada sekitar tahun 2019 lalu. Platform yang menampilkan video-video pendek tersebut tampaknya tetap menjadi salah satu media yang digemari, bahkan hingga saat ini. Kepopuleran TikTok sebagai platform video pendek bahkan sudah dapat menyebar dan dinikmati hingga berbagai negara. Namun, apakah negara-negara yang terkena pengaruh dari keberadaan TikTok tersebut menanggapi secara positif dari keberadaan platform tersebut?

Baru-baru ini, beberapa anggota dari DPR negara adidaya terbesar, yakni Amerika Serikat, memperkenalkan rancangan undang-undang baru yang diperuntukkan kepada ByteDance agar perusahaan tersebut menjual TikTok kepada Amerika Serikat. Rancangan undang-undang baru ini ada agar menjauhkan Amerika Serikat dari adanya kejahatan yang mengintai negara mereka dari musuh-musuh negara asing. Namun, RUU itu tidak berlaku apabila TikTok melepaskan diri dari ByteDance, perusahaan induk dari platform video tersebut.

Di lain sisi, menanggapi keberadaan RUU tersebut, TikTok memberikan tanggapan bahwa mereka enggan untuk menjual atau berpisah dari perusahaan induknya tersebut. Menurut mereka, dengan menjual TikTok atau bahkan melarang TikTok di Amerika Serikat sama saja menghilangkan platform yang membantu 5 juta pengusaha kecil di negara adidaya tersebut. Tidak hanya itu, adanya rancangan undang-undang ini juga menginjak-injak hak Amandemen Pertama 170 juta orang Amerika.

 

Artikel diketik oleh Alivia Ichsania