LSPR News — Dunia perdagangan internasional kembali bergejolak setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif impor besar-besaran yang dikenal dengan istilah “Tarif Trump.” Kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk melindungi industri dalam negeri AS dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, dampaknya justru memicu ketegangan ekonomi global—termasuk terhadap Indonesia.
Tarif ini diberlakukan dalam dua skema utama. Pertama, tarif umum sebesar 10% terhadap hampir seluruh produk impor. Kedua, tarif timbal balik yang disesuaikan dengan perlakuan negara-negara lain terhadap ekspor AS. Sayangnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban tarif tertinggi, yakni 32%.
Pemberlakuan tarif tersebut berdampak langsung pada harga produk impor di pasar Amerika. Barang-barang seperti tekstil, makanan, elektronik, hingga bahan bakar mengalami lonjakan harga. Hal ini tentu memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat AS, terutama kelas menengah ke bawah yang sangat bergantung pada barang-barang impor dengan harga terjangkau.
Di Indonesia, sektor ekspor menjadi pihak yang paling terdampak. Industri tekstil, garmen, alas kaki, hingga minyak sawit kini menghadapi hambatan besar untuk masuk ke pasar AS. Data menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, puluhan perusahaan tekstil di Indonesia telah tutup, dan lebih dari 24 ribu pekerja kehilangan pekerjaan pada tahun 2024 saja. Tak hanya industri besar, sektor UMKM juga ikut merasakan imbasnya.
Kebijakan proteksionis ini bukan hanya menjadi perhatian Indonesia. Negara-negara seperti Uni Eropa, Kanada, dan Tiongkok juga bereaksi keras dengan merancang tarif balasan terhadap produk asal AS. Uni Eropa bahkan menyiapkan tarif terhadap produk senilai 28 miliar dolar AS sebagai respons. Situasi ini memicu kekhawatiran akan terjadinya perang dagang global yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dunia.
Meski dampaknya terhadap Indonesia dinilai masih lebih ringan dibanding negara seperti Vietnam atau Sri Lanka, ancaman terhadap kelangsungan ekspor tetap nyata. AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai lebih dari 10 persen dan surplus sebesar 16,8 miliar dolar AS. Jika hubungan dagang terganggu, perekonomian nasional bisa terkena dampak lanjutan.
Di tengah ketidakpastian ini, pemerintah Indonesia didorong untuk memperluas pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional dan memperkuat industri lokal agar lebih kompetitif. Diversifikasi pasar dan inovasi produk menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan ekonomi nasional di tengah dinamika global yang terus berubah.
Artikel ditulis oleh Dygo Aheesa
Disunting oleh Alivia Ichsania Yuanani