Ketika sebuah film animasi lokal mengusung judul “Merah Putih: One for All”, ekspektasi langsung melambung. Apalagi ini dirilis menjelang HUT RI ke-80, yakni di tanggal 14 Agustus 2025 lalu dimana momen sakral yang sempurna untuk menyulut rasa nasionalisme lewat layar lebar. Ceritanya pun terdengar manis di atas kertas, soal delapan anak dari berbagai daerah bersatu menyelamatkan bendera pusaka yang hilang beberapa hari sebelum upacara 17 Agustus. Ada petualangan di hutan, tantangan di sungai, badai yang menghadang, dan pesan soal toleransi, serta gotong royong yang ingin disampaikan. Sayangnya, semua itu terasa seperti undangan pesta besar yang ketika didatangi, hidangannya belum matang.

Sumber gambar dari RRI
Sejak trailer-nya dirilis, reaksi netizen sudah lebih ramai daripada penonton bioskop di hari pertama. Banyak yang menyebut visualnya seperti tugas sekolah yang dikerjakan semalam sebelum deadline. Ada juga komentar sinis yang bilang, “nonton kursi bioskop kosong selama dua jam mungkin lebih menghibur.” Tidak berhenti di sana, film ini pun kena perbandingan langsung dengan “Jumbo”, film animasi lokal sebelumnya yang dianggap jauh lebih matang secara konsep dan visual. Perbandingan itu mau tidak mau jadi tamparan telak bagi seluruh tim yang berkontribusi di dalam “Merah Putih: One for All”.
Menariknya, kritik tidak hanya datang dari warganet. Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, ikut menyoroti kualitas visual dan mengingatkan bahwa anggaran dan eksekusi harus menjadi bahan evaluasi. Meski begitu, ia tetap menyebut film ini sebagai kontribusi kreatif nasional yang perlu diapresiasi. Yah, walaupun ernyataan ini terdengar seperti ucapan “yang penting niatnya”.
Hal yang paling disayangkan adalah gap antara niat dan hasil. Ide membawa pesan persatuan dan keberagaman melalui petualangan anak-anak ini sebenarnya punya potensi besar untuk jadi tontonan keluarga yang berkesan. Namun, ketika pengemasan teknis, dari mulai kualitas animasi, detail visual, hingga pengaturan tempo cerita terasa seadanya, pesan itu akhirnya tenggelam. Bukannya memompa semangat merdeka, film ini justru memicu gelombang meme dan sindiran di media sosial, khususnya di TikTok dan X.

Sumber gambar dari Katadata
Tidak hanya soal visual yang dapat dikatakan kurang layak untuk ditonton, namun netizen ramai-ramai membandingkan karakter dalam film ini dengan model-model 3D yang dijual di platform Reallusion Content Store. Beberapa karakter, seperti “Jayden” karya Junaid Miran, “Tommy” dari Chihuahua Studios, dan “Ned” dan “Francis” terlihat sangat mirip dengan aset yang tersedia secara komersial. Gunawan Paggaru, Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), menyatakan kekhawatirannya terhadap kemungkinan penggunaan aset luar tanpa izin. Menurutnya, tindakan tersebut bisa masuk ke ranah ilegal dan harus ditindaklanjuti secara serius.
Di balik semua kontrversi “Merah Putih: One for All”, animasi ini adalah contoh nyata bahwa semangat nasionalisme saja tidak cukup untuk menghidupkan sebuah karya di layar lebar. Butuh sentuhan teknis animasi dan detail yang rapi. Karena di era sekarang, penonton bukan hanya membeli tiket, mereka juga membawa standar, dan jika standar itu ngga terpenuhi, siap-siap saja nama filmnya lebih sering muncul di timeline sebagai bahan candaan daripada pujian.
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani