Beberapa minggu terakhir, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta di Jakarta dan sekitarnya menghadapi kenyataan yang tak menyenangkan. Hal itu dikarenakan stok bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi mulai menipis bahkan kosong. Berselang waktu sejak pertengahan Agustus 2025, konsumen Shell dan BP, khususnya yang menggunakan bensin RON 92, seperti Shell Super dan BP 92, melaporkan kekosongan bahan bakar di sejumlah titik pengisian. Beberapa SPBU bahkan harus menutup sementara jenis BBM tertentu sampai pasokan kembali normal.
Pemerintah memang telah mengambil langkah untuk memperkuat pasokan bagi SPBU swasta. Salah satunya adalah penambahan kuota impor BBM untuk SPBU swasta sebanyak 10% dibandingkan alokasi tahun 2024, sehingga totalnya menjadi sekitar 110% dari tahun sebelumnya. Meski begitu, kenaikan kuota ini belum sepenuhnya meredakan tekanan terhadap permintaan. Sebab, permintaan BBM non-subsidi melonjak tinggi akibat banyak konsumen yang awalnya membeli BBM dari Pertamina, baik BBM bersubsidi (Pertalite) maupun tidak disubsidi (Pertamax) beralih ke non-subsidi. Pergeseran konsumsi ini diperkirakan sebesar 1,4 juta kiloliter sepanjang tahun ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merespons kelangkaan ini dengan meminta agar SPBU swasta bisa membeli pasokan dari kilang milik Pertamina. Direktur Jenderal Migas, Laode Sulaeman, menyebut bahwa spesifikasi minyak dari kilang Pertamina memenuhi standar yang diperlukan sehingga SPBU swasta seharusnya tidak mengalami hambatan teknis jika memilih opsi ini. Namun, meskipun opsi tersebut tersedia, belum semua SPBU swasta menggunakan jalur ini karena beberapa pertimbangan seperti harga, logistik, dan mungkin perjanjian pasokan impor yang sudah ada sebelumnya.

Sumber dari detikFinance
Menanggapi kurangnya pasokan BBM tersebut, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menambah lagi kuota impor BBM non-subsidi untuk SPBU swasta selain 110% yang telah disetujui untuk 2025. Pemerintah lebih mendorong sinkronisasi impor dan distribusi antara SPBU swasta dengan Pertamina untuk memastikan stok merata.
Akibat situasi ini, konsumen harus bersabar mengantre panjang di SPBU Shell, BP, dan Vivo yang masih memiliki stok. Beberapa lokasi di Jakarta seperti Shell di Pejaten, Kemang, Permata Hijau, dan Pos Pengumben sering kosong untuk produk bensin non-subsidi RON 92. Di lain sisi, masyarakat juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kelangkaan ini dapat memicu kenaikan harga BBM swasta atau muncul pasar gelap jika pasokan terus tidak stabil.

Sumber dari Merdeka.com
Selain merugikan konsumen, kondisi ini juga mulai menimbulkan kekhawatiran bagi ribuan karyawan SPBU swasta. Dengan volume penjualan yang menurun drastis, manajemen SPBU dikhawatirkan akan melakukan efisiensi biaya operasional. Jika situasi seperti ini terjadi terus menerus, tentunya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa saja terjadi, terutama pada SPBU yang paling terdampak kekosongan stok dalam jangka panjang. Para pekerja SPBU yang selama ini mengandalkan gaji bulanan tentu berada dalam posisi rentan, terlebih jika perusahaan tidak mendapat kepastian pasokan maupun dukungan dari pemerintah.
Dari sisi pengelola SPBU dan bisnis migas, tantangannya antara lain adalah perizinan impor BBM yang sekarang berlaku enam bulan dengan evaluasi tiga bulan sehingga pihak swasta harus cukup gesit dalam merencanakan kebutuhan stoknya. Kemudian, logistik pengiriman, distribusi dari kilang atau pelabuhan ke SPBU juga menjadi kendala saat permintaan melonjak secara mendadak.
Seluruh kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun kebijakan peningkatan kuota dan opsi pasokan dalam negeri sudah disiapkan, implementasi di lapangan masih memiliki banyak celah. Konsistensi pasokan, kejelasan regulasi dan izin, dan logistik distribusi menjadi faktor kunci agar stok BBM non-subsidi di SPBU swasta tidak terus mengalami gangguan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya konsumen yang dirugikan, tapi juga para pekerja yang jadi korban krisis pasokan.
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani