Film “First Man” yang dirilis pada tahun 2018 disutradarai oleh Damien Chazelle dan dibintangi Ryan Gosling sebagai Neil Armstrong. Banyak orang mengira film ini hanya akan menyorot misi bersejarah pendaratan manusia pertama di Bulan. Namun, alur yang ditawarkan justru lebih personal dan emosional, menggali sisi terdalam Armstrong yang jarang terlihat publik.
Sejak awal penonton diperkenalkan pada sisi rapuh Armstrong. Kehilangan putri kecilnya karena kanker menjadi luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Peristiwa itu membentuk karakter Armstrong yang pendiam, tertutup, dan penuh kesunyian. Trauma ini menjadi benang merah yang menuntun perjalanan emosional film.
Kehilangan tidak berhenti di situ. Selama masa pelatihan dan uji coba, Armstrong menyaksikan rekan-rekannya sesama astronot gugur akibat kecelakaan. Kematian demi kematian menambah lapisan kesedihan yang harus ia tanggung sendirian. Kesepian di sini bukan hanya perasaan pribadi, melainkan konsekuensi dari profesi yang penuh risiko.
Film ini dengan sengaja tidak menampilkan Armstrong sebagai pahlawan dengan sorak sorai kemenangan. Sebaliknya, Chazelle menyorot bagaimana sebuah pencapaian besar dibayar dengan harga emosional yang tinggi. Kesendirian Armstrong menjadi simbol dari perjalanan manusia yang harus berani menghadapi kehilangan demi melangkah maju.

Sumber dari Website Universal
Bagi generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Y, tema kesepian dalam “First Man” terasa sangat relevan. Di era media sosial, banyak orang terlihat terkoneksi setiap saat, namun tetap merasakan keterasingan. Armstrong berada di pusat perhatian dunia, tetapi justru digambarkan terasing dalam dirinya sendiri.
Keterasingan Armstrong juga tercermin dalam hubungannya dengan keluarga. Walau ia memiliki istri dan anak, ada jarak emosional yang sulit dijembatani. Kesibukan misi dan beban psikologis membuatnya tampak jauh, seakan ada dunia batin yang tidak bisa dijangkau oleh orang terdekat sekalipun.

Sumber dari Website Universal
Kesendirian kemudian dipertegas melalui visual luar angkasa. Ruang hampa, keheningan, dan kegelapan kosmik menjadi metafora tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam semesta. Saat Armstrong akhirnya menjejakkan kaki di Bulan, penonton tidak disuguhi kemenangan yang riuh, melainkan keheningan yang justru menegaskan rasa sunyi.
Dalam momen itu, film seolah ingin menyampaikan bahwa kesuksesan monumental tidak otomatis menghapus rasa kehilangan. Armstrong membawa luka masa lalunya hingga ke Bulan, dan pencapaian besar itu tidak serta merta menenangkan batinnya. Pesan ini terasa sangat manusiawi dan menyentuh.

Sumber dari Website Universal
“First Man” mengingatkan bahwa keberhasilan sejati bukan hanya soal apa yang dilihat dunia, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi kesendirian. Keberanian Armstrong tidak semata pada keberhasilan mendarat di Bulan, tetapi pada kemampuannya melangkah meski dihantui rasa kehilangan.
Bagi penonton muda, refleksi ini penting. Di tengah tuntutan pencapaian dan ekspektasi sosial, ada kebutuhan untuk berdamai dengan kesepian. “First Man” menunjukkan bahwa di balik pencapaian terbesar sekalipun, manusia tetap makhluk rapuh yang mencari makna dalam kesendirian.
Artikel ditulis oleh Dygo Aheesa Prima Nusantara