Senin sore, tepatnya pada 29 September 2025, suasana damai di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, berubah menjadi tragedi ketika mushola bangunan tiga lantai ambruk tepat saat santri melaksanakan Shalat Ashar berjamaah. Musibah ini menewaskan sedikitnya tiga santri, melukai puluhan lainnya, dan masih menyisakan puluhan santri yang terjebak di reruntuhan.
Dugaan awal menyebutkan bahwa lantai atas bangunan ini masih dalam tahap pengecoran saat kejadian. Pengerjaan yang belum selesai, ditambah pondasi yang diduga tidak memadai untuk menahan beban lantai tambahan, menjadi faktor utama penyebabnya. “Pondasi tidak kuat sehingga bangunan dari lantai empat runtuh hingga lantai dasar,” kata Basarnas dalam laporannya. Selain itu, pengasuh pesantren menyebut bahwa pembangunan berlangsung selama kira-kira 9 hingga 10 bulan sebelum terjadi kerusakan fatal.
Jumlah korban terus bertambah seiring proses evakuasi. Dari sekitar 140 santri yang berada di mushola pada saat kejadian, sekitar 102 santri telah berhasil dievakuasi sementara 38 lainnya masih terjebak di dalam reruntuhan. Korban terluka dibawa ke beberapa rumah sakit di Sidoarjo, termasuk RSUD Sidoarjo dan rumah sakit swasta lainnya.

Sumber dari Zona Malang
Kejadian ini memicu sorotan tajam terhadap standar konstruksi bangunan keagamaan di Indonesia, khususnya pesantren dan madrasah. Beberapa fakta yang mencuat antara lain, pembangunan mushola ini tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) atau pelanggaran izin bangunan, lemahnya pengawasan teknis, dan kelalaian dalam memastikan keamanan struktur bangunan. Menteri Agama Nasaruddin Umar kemudian menyatakan bahwa insiden ini harus menjadi bahan pembelajaran dan pihak Kementerian akan merumuskan kebijakan agar pembangunan pesantren dan madrasah memperhatikan aturan konstruksi bangunan yang berlaku kedepannya.
Pengasuh Ponpes Al-Khoziny, KH Abdus Salam Mujib, menyebut bahwa mushola yang ambruk sedang dalam tahap pembangunan dan pengecoran terakhir. Ia membenarkan bahwa pembangunan itu telah berlangsung selama hampir sepuluh bulan dan bagian atas atau rooftop mushola sedang diselesaikan sebelum adanya insiden roboh tersebut
Evakuasi dilakukan oleh tim SAR gabungan, Basarnas, BPBD, masyarakat sekitar, dan aparat kepolisian, serta TNI. Reruntuhan beton, balok, dan material bangunan lainnya memperlambat operasi, terutama karena kondisi struktur yang rapuh dan potensi runtuhan susulan. Tim SAR gabungan saat ini berpacu dengan waktu mengingat terdapat periode krusial atau golden time dalam mengevakuasi korban dalam keadaan hidup.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Kepala Badan SAR Nasional, Marsekal Madya TNI M. Syafeii (01/09)
“Saat ini kita benar-benar mengejar golden time Sesuai teori memang 72 jam. Namun pada saat kita sudah bisa menyentuh korban, kita sudah bisa mensuplai minuman, vitamin, bahkan infus sudah bisa kita berikan. [Sehingga] memungkinkan yang bersangkutan ini bisa bertahan lebih lama,” paparnya.
Ambruknya mushola Ponpes Al-Khoziny tentunya menimbulkan luka dan trauma bagi santri, keluarga, dan masyarakat. Lebih dari sekadar memulihkan korban, kejadian ini harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh dalam tata kelola pembangunan lembaga pendidikan.
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani