Taylor Swift lagi-lagi jadi bahan obrolan hangat di dunia musik, terlebih buat Swifties. Setelah sukses besar lewat albumnya berjudul “The Tortured Poets Department” tahun lalu, penyanyi berusia 35 tahun itu akhirnya merilis album terbaru bertajuk “The Life of a Showgirl” pada awal Oktober 2025. Tapi kali ini, vibe-nya agak beda. Tentunya itu membuat Swifties berpendapat jadi dua, antara yang jatuh cinta sama eksperimen barunya, dan yang ngerasa “ini kayaknya bukan Taylor banget deh”.

Sumber dari Universal Music Indonesia

Album “The Life of a Showgirl” berisi 13 lagu ini terdengar lebih eksperimental dibanding karya-karya sebelumnya. Taylor seolah mencoba menggabungkan nuansa Broadway, disko 80-an, dan pop modern di dalam satu album ini. Tapi justru di sinilah kontroversinya mulai muncul. Banyak Swifties bilang lirik-lirik di album ini terasa “kurang poetic” dan nggak seperti biasanya. 

Beberapa lagu kayak “Velvet Heartbreak” dan “Diamonds in the Cheap Seats” tetap punya ciri khas storytelling Taylor yang kuat, tapi sebagian lainnya, kayak “Curtain Call” dan “Blonde Disaster” dinilai agak aneh. Fans yang udah terbiasa sama curhatan emosional khas Taylor ngerasa kehilangan sentuhan personal yang biasanya bikin mereka relate.

Sumber dari ELLE

Hal yang sebenarnya bikin suasana makin lucu adalah komenan fans yang bilang kalau lirik di album ini dibantu rangkai oleh tunangan Taylor, Travis Kelce. Komentar ini muncul setelah penggemar nemuin kredit lagu “He’s in the End Zone of My Heart” yang menyebut nama “T.K.” sebagai co-writer. Lagu itupun membuat Swiftie lain ikut berkomentar kalau seorang seniman udah secure dengan kehidupan mereka, hasil seninya pasti jadi kurang menarik. Meskipun komenan asal itu belum dikonfirmasi langsung oleh Taylor, fans langsung heboh dan mulai berspekulasi kalau Travis beneran ikut merangkai lagu cinta di album ini. Ada yang menganggap hal itu manis, tapi nggak sedikit juga yang bilang “ini bikin Taylor jadi kurang autentik.”

Meski begitu, “The Life of a Showgirl” tetap punya kekuatan di sisi produksinya. Kolaborasi dengan produser Jack Antonoff dan Aaron Dessner masih terasa solid dengan sentuhan megah khas Taylor. Beberapa kritikus bahkan menyebut album ini sebagai Taylor’s most cinematic era yet, kayak soundtrack dari hidupnya sendiri sebagai performer yang hanya tumbuh dari penyanyi pop lokal dan berhasil jadi legenda pop dunia.

 

Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani