Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) baru-baru ini mengambil langkah signifikan dengan mencopot plang peringatan bahaya terpapar radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di beberapa lokasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Banten pada Jumat, 17 Oktober 2025 lalu. Tindakan yang dipimpin oleh Deputi Penegakan Hukum KLH ini diklaim sebagai penanda bahwa area tersebut sudah tuntas didekontaminasi dan aman dari cemaran radioaktif. Pernyataan “Insya Allah aman” pun dilontarkan oleh Deputi Gakkum KLH, Rizal Irawan yang dilontarkan saat pelepasan plang di lapak barang bekas di Jalan Kampung Sadang.
KLH melaporkan bahwa dari 22 pabrik yang tercemar, 20 di antaranya sudah didekontaminasi. Sementara itu, untuk lapak besi, baru 2 dari 13 lokasi yang dinyatakan bebas dari radiasi Cs-137. Pelepasan plang di area yang telah didekontaminasi ini bertujuan untuk menegaskan bahwa lokasi tersebut aman dan dapat kembali beraktivitas normal. Namun, data tersebut menunjukkan bahwa proses pembersihan belum 100% tuntas. Masih ada 2 pabrik dan 11 lapak besi lain yang masih dalam proses dekontaminasi atau belum dinyatakan aman. Walaupun plang dicopot di titik yang diklaim ‘bersih’, kurangnya detail data dan metodologi pengujian yang dirilis ke publik berpotensi menimbulkan keraguan.

Sumber dari BBC
Kasus Cikande yang disebut-sebut bermula dari masuknya limbah Cesium-137, kemungkinan besar dari luar negeri adalah alarm keras bagi pengawasan limbah B3 dan impor scrap metal (limbah logam). Pelepasan plang peringatan memang penting sebagai penanda pemulihan, namun jika tidak disertai transparansi bukti ilmiah, hal itu justru bisa menjadi peluang bahaya baru. Pemerintah harus ingat bahwa dampak paparan radioaktif tidak berdampak secara instan, namun berdampak jangka panjang. Keputusan untuk menyatakan sebuah area aman tanpa bukti kuat adalah pertaruhan besar yang mempertaruhkan kesehatan ribuan warga.
Jangan biarkan keselamatan warga ditukar dengan klaim seremonial. Buktikan bahwa Cikande benar-benar bersih dan aman dengan data, bukan hanya dengan kata-kata saja.
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani