Wacana soal sertifikasi bagi influencer dan kreator konten di Indonesia tengah jadi perbincangan hangat di dunia maya. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI mengonfirmasi bahwa kebijakan ini masih dalam tahap kajian internal, tanpa keputusan final ataupun tanggal penerapan. Kabar ini pertama kali disampaikan oleh Kepala BPSDM Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, pada Jumat, 31 Oktober 2025. Ia menjelaskan bahwa kajian ini berangkat dari kebutuhan untuk meningkatkan profesionalisme serta menekan penyebaran misinformasi di ruang digital, terutama dalam konten yang bersinggungan dengan bidang profesional seperti kesehatan, keuangan, hukum, pendidikan, dan psikologi.

Sumber dari Kumparan

Meski baru tahap kajian, isu ini langsung ramai diperbincangkan publik sejak awal November 2025. Banyak yang menilai langkah ini berpotensi membawa arah baru bagi dunia kreator digital Indonesia, tapi tak sedikit juga yang khawatir regulasi semacam ini bisa membatasi kebebasan berekspresi.

Salah satu acuan utama Komdigi adalah kebijakan baru dari Tiongkok (China) yang resmi diberlakukan pada 10 Oktober 2025. Di negara tersebut, influencer profesional diwajibkan memiliki sertifikasi kompetensi khusus, terutama jika membahas topik sensitif atau teknis. Pelanggar aturan bisa dikenakan denda hingga 100.000 yuan atau setara Rp 230 juta, atau bahkan menghadapi sanksi penutupan akun.

Komdigi menegaskan bahwa Indonesia tidak serta-merta akan menyalin model regulasi China. “Kami masih mengkaji secara hati-hati agar kebijakan ini tidak mengekang kreativitas para kreator,” ujar Bonifasius. Pemerintah juga disebut sedang mengumpulkan masukan dari komunitas kreator, akademisi, dan publik sebelum menentukan langkah lanjutan, termasuk apakah sertifikasi ini benar-benar dibutuhkan, dan jika ya, bagaimana mekanisme serta grading system-nya akan diterapkan.