Di kantin kampus hingga ruang diskusi perpustakaan, satu pertanyaan besar masih sering menggantung di benak mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan ini: “Jika ChatGPT bisa menulis press release dalam 3 detik dan Midjourney bisa membuat poster kampanye dalam 1 menit, untuk apa saya kuliah 4 tahun?”

Pertanyaan ini valid, namun jawabannya sering kali keliru. Narasi bahwa “AI menggantikan manusia” adalah pandangan usang. Realitas yang kita hadapi di penghujung tahun 2025 ini jauh lebih kompleks, AI tidak menggantikan komunikator, tetapi AI membunuh “pekerjaan rata-rata”.

Berdasarkan riset industri dan rangkaian inisiatif strategis yang telah dilakukan kampus kita sepanjang tahun ini, masa depan lulusan LSPR justru sangat cerah asalkan kita berani mengubah definisi diri dari “pembuat pesan” menjadi “arsitek kepercayaan”.

Hilangnya “Anak Tangga Bawah”

Mari bicara fakta pahit terlebih dahulu. Pekerjaan entry-level tradisional yang dulu menjadi tempat belajar lulusan baru seperti merangkum notulensi, media monitoring manual, atau menulis caption dasar sedang mengalami kepunahan massal. Fenomena ini oleh industri disebut sebagai “the vanishing bottom rung” atau hilangnya anak tangga terbawah karier. Industri kini tidak lagi membutuhkan junior untuk melakukan pekerjaan repetitif yang bisa diselesaikan AI dengan biaya nol.

Artinya, ketika lulus nanti, Anda tidak akan dibayar untuk sekadar “menulis”. Anda akan dibayar untuk memiliki strategi, empati, dan kemampuan memverifikasi kebenaran yang tidak dimiliki mesin.

LSPR: Bukan Penumpang, Tapi Pilot

Kabar baiknya, ekosistem di LSPR Institute telah membaca sinyal ini sejak awal. Tahun 2025 menjadi tahun pembuktian bahwa kampus kita tidak tinggal diam.

Peluncuran LSPR Centre for Artificial Intelligence and Communication Technology (CAICT) bersama mitra industri seperti NoLimit menjadi langkah fondasi yang krusial. Inisiatif ini menegaskan bahwa literasi data dan teknologi kini setara pentingnya dengan kemampuan public speaking.

Puncaknya adalah kesuksesan LSPR AI Festival 2025 yang digelar Agustus lalu. Mengusung tema “Smart Collaboration for Responsible & Creative AI”, festival tersebut bukan sekadar pameran teknologi, melainkan pernyataan sikap. Kita diajak untuk tidak memusuhi teknologi, melainkan mengendalikannya.

Seperti yang disampaikan oleh rekan kita, Della Mellianie Hery (Mahasiswa LSPR Fakultas Ilmu Komunikasi), yang menyebut bahwa inisiatif semacam ini membuka mata mahasiswa bahwa “kecerdasan buatan dapat menjadi mitra strategis bagi kreativitas manusia,” bukan musuh yang harus ditakuti.

Sentuhan Manusia yang Tak Tergantikan

Namun, di tengah euforia teknologi, pimpinan kita tetap mengingatkan akan esensi utama komunikasi. Prita Kemal Gani, Founder & CEO LSPR Institute, dalam berbagai forum, konsisten menekankan bahwa AI memiliki batasan tegas.

Menurut beliau, meskipun AI canggih dalam mengolah data, teknologi ini “tidak dapat menggantikan manusia dalam hal emosi, imajinasi, kreativitas, pemecahan masalah,” apalagi dalam membangun koneksi antar-manusia yang tulus.

Inilah kunci relevansi kita 10 tahun ke depan. Mesin bisa memproses informasi, tapi hanya manusia yang bisa memproses makna.

Profesi Baru: Data Storyteller hingga DevRel

Jika pekerjaan lama hilang, apa gantinya? Riset pasar tenaga kerja menuju 2030 menunjuk pada peran-peran hibrida:

  1. The Data Storyteller: Dunia korporat banjir data tapi miskin wawasan. Lulusan komunikasi dibutuhkan untuk menerjemahkan angka-angka membosankan menjadi narasi yang menggerakkan keputusan bisnis.
  2. Crisis Manager di Era Deepfake: Ancaman terbesar reputasi dekade ini adalah deepfake. Perusahaan butuh komunikator yang bisa membedakan video asli dan palsu serta memulihkan kepercayaan publik dalam hitungan menit.
  3. Developer Relations (DevRel): Perusahaan teknologi butuh “wajah manusiawi” untuk berbicara dengan komunitas pengembang. Ini adalah evolusi PR yang menuntut pemahaman teknis sekaligus empati tinggi.

Menatap tahun 2026 dan seterusnya, mahasiswa LSPR masih sangat dibutuhkan. Bukan untuk menjadi robot yang mengetik cepat, tetapi untuk menjadi intelektual yang menjaga etika, memvalidasi kebenaran, dan menyuntikkan empati ke dalam sistem algoritma yang dingin.

Jangan takut pada AI. Takutlah jika Anda berhenti belajar untuk mengendalikannya.

 

 

Artikel ini disusun berdasarkan riset tren industri 2025 dan liputan kegiatan akademik LSPR Institute.

Ditulis oleh Dygo Aheesa Prima Nusantara