Indonesia kembali mendapat sorotan negatif dalam isu kualitas bahan bakar minyak (BBM). Berbagai laporan menyebut bahwa kadar sulfur dalam BBM yang beredar di Indonesia masih jauh di atas standar internasional. Banyak jenis BBM, terutama yang bersubsidi, masih memiliki kandungan sulfur hingga 500 ppm atau lebih, padahal standar Euro 4 mensyaratkan maksimal 50 ppm. Kondisi ini menempatkan Indonesia di posisi terburuk di Asia Tenggara dalam hal kualitas BBM.
Perbandingan dengan negara tetangga memperlihatkan ketertinggalan yang jelas. Malaysia sejak 1 April 2021 telah beralih ke diesel Euro 5 dengan kadar sulfur maksimal 10 ppm dan bahkan sedang menyiapkan peluncuran bensin Euro 5 pada September 2025 dengan batas sulfur serupa. Thailand menetapkan standar sulfur untuk diesel di angka 350 ppm, sementara Vietnam masih di level 500 ppm. Artinya, sebagian negara ASEAN sudah melompat jauh ke standar bersih, sementara Indonesia masih bertahan dengan kualitas lama.

Sumber dari Kompas.com
Buruknya kualitas BBM di Indonesia punya konsekuensi langsung terhadap kesehatan dan lingkungan. Kadar sulfur tinggi menghasilkan emisi berbahaya, termasuk sulfur dioksida dan partikel halus yang memperparah polusi udara. Tak heran, kota-kota besar seperti Jakarta kerap masuk daftar kota dengan udara terburuk di dunia. Para ahli kesehatan menegaskan bahwa polusi dari BBM rendah kualitas ini berkontribusi signifikan pada meningkatnya kasus asma, penyakit paru-paru kronis, hingga risiko kematian dini.
Dari sisi teknis, bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi juga merusak kendaraan modern. Banyak mobil yang sebenarnya sudah menggunakan teknologi emisi rendah tidak bisa berfungsi optimal karena BBM di pasaran tidak sesuai spesifikasi. Akibatnya, filter, katalis, dan sistem pengendali polusi cepat rusak, membuat biaya perawatan melonjak dan efisiensi bahan bakar menurun. Konsumen bukan hanya dirugikan secara kesehatan, tapi juga secara ekonomi.
Masalah lain muncul di lapangan: masyarakat kerap mengeluhkan BBM yang keruh, berbau menyengat, bahkan tercampur air. Laporan dari Kalimantan Timur menyebutkan banyak kendaraan mogok usai diisi Pertalite, meski pihak Pertamina menegaskan produk mereka sudah lolos quality control. Kasus-kasus seperti ini menimbulkan pertanyaan serius tentang pengawasan distribusi dan standar mutu, mulai dari kilang hingga sampai pendistribusiannya di SPBU.
Ironisnya, pemerintah sudah berulang kali menyatakan komitmennya untuk beralih ke BBM bersih, namun hingga kini belum ada peta jalan jelas dan tegas kapan semua jenis BBM, termasuk yang bersubsidi akan memenuhi standar Euro 4 atau bahkan Euro 5. Selama kebijakan masih belum jelas, masyarakat akan terus menanggung risiko polusi dan kerusakan mesin, sementara negara tetangga sudah menikmati kualitas udara dan transportasi yang lebih baik.
Jika tidak ada langkah cepat, Indonesia akan terus dicap sebagai negara dengan BBM terburuk di Asia Tenggara. Lebih parah lagi, dampak buruknya sudah kita rasakan, dari kualitas udara yang mengancam kesehatan jutaan orang hingga beban ekonomi karena kendaraan lebih cepat rusak. Publik berhak menuntut transparansi, standar ketat, dan keberanian pemerintah untuk benar-benar meninggalkan bahan bakar kotor.
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani