Penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan fakta mengkhawatirkan, yakni air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik. Temuan ini menandakan bahwa polusi plastik tak lagi hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga telah menembus atmosfer dan kembali turun ke permukaan melalui hujan. Fenomena ini secara ilmiah dikenal sebagai “hujan mikroplastik” (microplastic rain).
Dalam hasil riset BRIN yang dilakukan sepanjang 2024 hingga 2025, laju pengendapan mikroplastik di atmosfer Jakarta tercatat sangat tinggi. Pada musim hujan, jumlah mikroplastik yang turun mencapai 23.422 partikel per meter persegi per hari, atau empat hingga lima kali lipat lebih banyak dibandingkan musim kemarau yang hanya sekitar 5.745 partikel per meter persegi per hari. Dengan kata lain, setiap kali hujan turun di ibu kota, ribuan partikel plastik mikroskopis ikut jatuh ke permukaan tanah, atap rumah, hingga sumber air.
Mikroplastik ditemukan di setiap sampel air hujan yang dikumpulkan peneliti BRIN. Dari hasil analisis bentuk partikel, sekitar 86 persen di antaranya berbentuk serat, yang kemungkinan besar berasal dari pakaian berbahan sintetis, debu kendaraan, dan gesekan ban di jalan raya. Jenis polimer yang dominan antara lain polyester, polistirena, polibutadiena, dan polietilena, yakni bahan dasar dari plastik yang biasa digunakan dalam pakaian, kemasan, hingga alat rumah tangga.
Sumber utama mikroplastik di udara Jakarta berasal dari aktivitas manusia sehari-hari, termasuk pembakaran sampah terbuka (open burning), pencucian pakaian sintetis, hingga degradasi plastik di lingkungan yang terkena panas matahari. Aktivitas transportasi dan urbanisasi padat di wilayah Jabodetabek juga memperburuk kondisi ini. Menurut peneliti BRIN, partikel plastik berukuran sangat kecil bisa melayang di udara selama berhari-hari, kemudian terbawa turun saat hujan dalam proses yang disebut deposisi basah (wet deposition).
Fenomena “hujan mikroplastik” bukan hanya terjadi di Jakarta. Sejumlah penelitian di negara lain seperti Prancis, Jepang, dan Amerika Serikat juga mencatat hal serupa, menegaskan bahwa mikroplastik kini telah menjadi bagian dari siklus hidrologi global. Namun, tingginya angka pengendapan di Jakarta menunjukkan tingkat polusi udara dan manajemen sampah yang masih jauh dari ideal.
Dampaknya pun tak bisa dianggap sepele. Para ahli kesehatan lingkungan memperingatkan bahwa paparan mikroplastik dalam jangka panjang dapat memicu gangguan pernapasan, peradangan paru, dan potensi adanya zat beracun pada organ tubuh, terutama jika partikel mikroplastik mengandung bahan kimia tambahan, seperti BPA atau logam berat. Meskipun riset mengenai dampak langsung pada manusia masih terus dikembangkan, keberadaan partikel plastik dalam air hujan memperjelas bahwa polusi plastik kini benar-benar ada di mana-mana, bahkan di udara yang kita hirup setiap hari.
BRIN dan sejumlah lembaga lingkungan menyerukan perlunya penguatan regulasi pengelolaan sampah plastik, penghentian pembakaran terbuka, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya plastik sekali pakai. Tanpa langkah serius, Jakarta bisa menjadi salah satu kota besar pertama di dunia yang bukan hanya dilanda banjir air, tetapi juga banjir mikroplastik dari langit.
 
			
					 
									 
	 
	 
	 
	