Jaminan Sosial yang Terlewat di Pabrik Rumahan

Di banyak sudut permukiman Indonesia, ribuan pekerja rumahan menopang roda perekonomian melalui produksi tanpa pernah terlihat dalam data resmi ketenagakerjaan. Mereka merakit, menjahit, mengemas, atau mengolah barang dari ruang-ruang sempit di rumah produksi. Ironisnya, posisi mereka kerap berada di luar perlindungan jaminan sosial. Keterbatasan informasi dan ketidakjelasan status kerja membuat kelompok ini seolah berada di luar perlindungan, padahal negara telah menetapkan kerangka hukum yang menegaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan yang layak.

Payung Hukum dan Ironi Data Ketenagakerjaan

Pondasi perlindungan tersebut telah dibangun melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menegaskan perlunya penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh pekerja tanpa memandang status hubungan kerja. Regulasi ini kemudian diperkuat oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 yang secara resmi membentuk BPJS Ketenagakerjaan sebagai Badan Hukum Publik dan mentransformasi PT Jamsostek menjadi penyelenggara jaminan ketenagakerjaan nasional. Lembaga ini mulai beroperasi dalam format barunya pada 1 Januari 2014 lalu dengan menyelenggarakan lima program, yaitu JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKM (Jaminan Kematian), JHT (Jaminan Hari Tua), JP (Jaminan Pensiun), dan JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan).

Di Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pekerja informal secara konsisten menempati lebih dari 60% total pekerja di Indonesia dan di dalam kelompok besar tersebut terdapat pekerja rumahan yang bekerja tanpa perlindungan memadai. Kelompok ini juga didominasi oleh perempuan yang bukan hanya menghadapi kerentanan ekonomi, tetapi juga beban domestik yang kerap membatasi akses mereka terhadap informasi maupun layanan perlindungan sosial.

Sejumlah kajian, seperti temuan SMERU Research Institute dan laporan International Labour Organization (ILO) di tahun 2015, menegaskan bahwa pekerja rumahan cenderung terisolasi secara sosial maupun struktural. Mereka jarang berinteraksi dengan lembaga formal, bergantung pada perantara, yakni pemilik usaha tempat mereka bekerja, dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat mengenai hak-hak mereka dalam hubungan kerjanya.

Terisolasi, Kisah Produksi Rumahan di Balik Margin Usaha Tipis

Salah satu contohnya terlihat pada sebuah rumah produksi kerupuk rambak di Desa Genengan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Usaha kecil ini dikelola oleh Pak Sutrisno, yang telah merintis produksinya sejak awal tahun 2000. Saat ini ia mempekerjakan empat orang pekerja dengan kapasitas produksi sekitar lima kilogram per hari, yang kemudian dikemas dan dijual seharga kurang lebih Rp15.000 per bungkus. Produk kerupuk rambak tersebut umumnya dipasarkan di warung-warung terdekat atau dibeli langsung oleh warga sekitar.

Dari sudut pandangnya sebagai pelaku usaha mikro, ia mengakui belum mampu mendaftarkan dirinya maupun para pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun memang yang ia tahu bahwa iuran per bulan hanya sebesar Rp 16.800 untuk satu orang pekerja, tapi menurutnya, margin usaha kerupuk rambak terbilang tipis sehingga sulit menyisihkan biaya tambahan untuk iuran jaminan sosial. Ia juga menilai bahwa pilihan yang tersedia sama-sama berisiko untuk memberikan hak pekerjanya agar dapat merasakan BPJS Ketenagakerjaan, yakni antara memotong gaji pekerja yang dapat memicu protes dari para pegawai atau menaikkan harga jual yang berpotensi menurunkan daya saing produknya di pasar lokal. Kondisi inilah yang membuat perlindungan jaminan sosial bagi pekerja rumahan di sektor usaha mikro masih kerap tertunda.

Pilihan antara Efisiensi atau Keselamatan Para Pekerja

Gambaran yang disampaikan Pak Sutrisno terhadap pekerja di usaha kerupuk rambaknya sejalan dengan temuan dalam Jurnal Dialogica (2025) dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Tidak Didaftarkan Oleh Perusahaan Sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan” karya Murphy Ananta Kharisma et al. yang menegaskan bahwa alasan serupa juga banyak ditemukan di berbagai sektor usaha mikro. Artikel jurnal tersebut mencatat bahwa ketidakikutsertaan pekerja dalam BPJS Ketenagakerjaan umumnya dipicu oleh faktor biaya, status pekerja yang bersifat harian lepas, dan skala usaha kecil-menengah yang membuat pelaku usaha sulit menanggung iuran tambahan. 

Penulis jurnal bahkan menyoroti adanya kecenderungan sebagian pelaku usaha menempatkan efisiensi dan keuntungan sebagai prioritas, sehingga aspek keselamatan pekerja belum dipandang sebagai kebutuhan mendesak. Dari artikel jurnal ini menunjukkan bahwa persoalan yang dialami usaha kecil, seperti rumah produksi rambak tersebut bukanlah kasus tunggal, melainkan mencerminkan pola yang lebih luas mengenai rendahnya kepatuhan terhadap kewajiban perlindungan jaminan sosial, meskipun kewajiban tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2011.

Melihat kenyataan tersebut, terlihat jelas bahwa pekerja rumahan masih menjadi kelompok yang luput dari perlindungan, meskipun negara telah menyediakan payung hukum dan lembaga yang bertugas menjamin keamanan mereka dalam bekerja.Jika dibiarkan, situasi ini hanya akan memperlebar jurang perlindungan antara pekerja formal dan pekerja rumahan yang perannya tidak kalah penting dalam menggerakkan ekonomi lokal. Lantas, sampai kapan pekerja rumahan harus terus bekerja tanpa kepastian perlindungan yang semestinya menjadi hak dasar mereka? Tidak adakah hukum yang mewajibkan pelaku usaha memberikan jaminan keselamatan kerja lewat BPJS Ketenagakerjaan bagi karyawannya?

 

Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani