Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah berlangsung di Jakarta memicu polemik tajam di kalangan masyarakat sipil. Rapat yang digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, mendapat kritik keras karena dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik. Penolakan terhadap revisi ini bukan hanya muncul dalam bentuk kritik terbuka, tetapi juga berujung pada aksi protes di lokasi rapat yang berbuntut pada pelaporan hukum dan dugaan intimidasi terhadap aktivis.

Sumber CNN Indonesia

Penambahan Jabatan Sipil bagi TNI dan Isu Dwifungsi Militer

Salah satu poin utama dalam revisi UU TNI yang menuai kontroversi adalah perluasan jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Jika sebelumnya hanya 10 posisi, kini daftar tersebut bertambah menjadi 16 instansi, termasuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kejaksaan Agung.

Menurut Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra, kebijakan ini membuka peluang bagi militer untuk kembali terlibat dalam pemerintahan sipil, sesuatu yang mengingatkan pada praktik dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Amnesty International Indonesia juga menilai perubahan ini berpotensi mengancam profesionalisme militer dan menciptakan loyalitas ganda di kalangan prajurit.

Selain itu, revisi ini juga mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira tinggi dari 58 menjadi 60 tahun, bahkan hingga 65 tahun untuk jabatan tertentu. Langkah ini semakin memicu kekhawatiran akan semakin melemahnya supremasi sipil dalam pengelolaan negara.

Sumber dari Kompas.com

Aksi Protes Berujung Pelaporan

Sebagai bentuk protes terhadap revisi UU TNI, sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merangsek masuk ke ruang rapat di Hotel Fairmont. Mereka membawa poster berisi penolakan dan menyuarakan keberatan atas minimnya transparansi dalam pembahasan undang-undang tersebut.

Aksi ini hanya berlangsung singkat sebelum akhirnya para aktivis dihalau oleh petugas keamanan hotel. Salah satu aktivis yang terlibat, Andrie Yunus dari KontraS, bahkan didorong hingga terjatuh saat diusir dari ruangan. Tak lama berselang, petugas keamanan hotel melaporkan mereka ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum dan melawan pejabat negara yang sedang bertugas.

Laporan tersebut memicu pertanyaan mengenai ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Pasalnya, aksi protes yang dilakukan aktivis merupakan bentuk kritik terhadap proses legislasi yang dianggap tidak demokratis.

Dugaan Intimidasi Pasca Aksi Protes

Tidak berhenti di situ, beberapa jam setelah aksi protes berlangsung, kantor KontraS di Jalan Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat, didatangi oleh tiga orang tak dikenal pada dini hari. Dari rekaman kamera pengawas, terlihat dua orang mengenakan pakaian hitam dan satu lainnya mengenakan kaos krem. Mereka menekan bel berkali-kali dan sempat mengaku berasal dari media.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, yang berada di kantor saat itu, mengaku mendapatkan panggilan telepon dari nomor tidak dikenal dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Ia menduga kedatangan orang-orang tersebut bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari upaya intimidasi terhadap pihaknya setelah mereka mengkritisi revisi UU TNI.

Sumber dari Kumparan

Masa Depan Revisi UU TNI

Revisi UU TNI ini masih dalam tahap pembahasan dan berpotensi disahkan sebelum masa reses DPR pada 20 Maret 2025. Jika disahkan tanpa perubahan berarti, regulasi ini dikhawatirkan akan membuka kembali peran militer dalam ranah politik dan pemerintahan, mengulang sejarah dwifungsi ABRI yang pernah dikritik keras di masa lalu.

Masyarakat sipil mendesak agar DPR lebih transparan dalam proses legislasi ini serta mempertimbangkan kembali substansi revisi yang dapat mengancam prinsip supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Pemerintah pun diharapkan tidak hanya mendengar suara dari kalangan militer, tetapi juga dari berbagai elemen masyarakat yang menolak kembalinya keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.

 

Artikel ditulis oleh Dygo Aheesa