Komisi Penyelidikan Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN CoI) akhirnya menyatakan bahwa agresi Israel ke Gaza memenuhi kualifikasi genosida. Berdasarkan laporan terbaru, sejak konflik meletus pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, lebih dari 64.000 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah warga sipil. Akses terhadap pangan, air bersih, obat-obatan, hingga layanan kesehatan hampir lumpuh total akibat blokade dan penghancuran infrastruktur.

Sumber dari The Guardian
Komisi menilai tindakan Israel mencakup empat dari lima kategori genosida dalam Konvensi 1948, yakni pembunuhan massal, penderitaan fisik dan mental yang parah, kondisi hidup yang diciptakan untuk menghancurkan kelompok, serta pencegahan kelahiran. Ditambah, pernyataan sejumlah pejabat politik dan militer Israel yang bernuansa dehumanisasi dinilai menunjukkan adanya intent to destroy atau niat khusus yang menjadi elemen kunci dalam definisi genosida.
Israel langsung menolak temuan ini. Mereka menyebut laporan PBB bermotif politik dan bias dengan alasan agresi dilakukan sebagai respons atas serangan Hamas. Namun, bagi masyarakat internasional, klaim “pertahanan diri” Israel kini berhadapan langsung dengan kesimpulan lembaga PBB yang menegaskan adanya pelanggaran paling serius dalam hukum internasional.
Meski pengakuan ini penting, pertanyaan mendasar muncul apakah PBB bertindak terlalu lambat? Selama hampir dua tahun, dunia menyaksikan bombardir tanpa henti, runtuhnya infrastruktur sipil, hingga krisis kemanusiaan terburuk abad ini. Baru setelah puluhan ribu korban jatuh, istilah genosida digunakan secara resmi.
Hal ini menguatkan kritik lama bahwa PBB kerap berfungsi lebih sebagai “arsip penderitaan” ketimbang aktor yang mampu mencegah kejahatan massal. Resolusi demi resolusi sering kandas di Dewan Keamanan karena veto negara besar, sehingga laporan keras seperti ini sering berakhir sebagai catatan moral tanpa kekuatan hukum yang memaksa.
Dari perspektif Hubungan Internasional, pengakuan genosida oleh PBB seharusnya memicu kewajiban hukum bagi negara-negara lain. Berdasarkan Konvensi Genosida 1948, semua negara pihak wajib mencegah dan menghukum genosida. Artinya, laporan ini bukan sekadar kecaman, melainkan dasar legitimasi untuk langkah lebih konkret: mulai dari embargo senjata, sanksi ekonomi, hingga membawa kasus ke ICJ atau ICC. Namun, realitas politik global memperlihatkan hambatan besar. Negara-negara besar yang memiliki aliansi militer maupun kepentingan ekonomi dengan Israel cenderung berhati-hati, bahkan menolak istilah genosida. Hal ini menunjukkan betapa norma internasional sering kali kalah oleh kepentingan geopolitik.
Laporan PBB tentang genosida di Gaza adalah momen penting dalam sejarah konflik Israel-Palestina. Ia mengafirmasi bahwa kekerasan yang terjadi bukan sekadar “operasi militer”, tetapi upaya sistematis yang melanggar hukum internasional. Namun, tanpa langkah nyata dari komunitas internasional, istilah genosida bisa berakhir sebagai retorika yang kehilangan makna.
Bagi mahasiswa HI, kasus ini membuka refleksi kritis dimana apakah PBB benar-benar mampu menegakkan hukum internasional atau hanya berperan sebagai penonton yang selalu datang terlambat?
Artikel ditulis oleh Alivia Ichsania Yuanani